Sejak pemerintahaan Orde Baru, paham marxisme distigmatisasi sebagai sebuah pandangan yang mengerikan. Stigma tersebut cukup beragam seperti dicap ateis, anarkis, brutal, dan bahkan komunis. Padahal, jika membaca ulang manuskrip Marx, tak ada satupun yang mengarahkan seseorang untuk menjadi pribadi sebagaimana cap di atas. Hal ini menandakan jika taraf budaya baca kita, sebagai suatu bangsa, masih sangat kurang karena lebih mengedapankan budaya dengar seperti “katanya orang”.
Sadar akan hal tersebut, Universitas Sawerigading (UNSA) Makassar, bekerja sama dengan penerbit Marjin Kiri, mengadakan kuliah umum bertema Marx’s View of The Global South untuk mendiskusikan secara kritis dan teorertis apakah yang dipersepsikan oleh publik selama ini , mengenai pandangan marx, merupakan paham dengan narasi dan stigma di atas.
Kuliah umum tersebut digelar di Aula Universitas Sawerigading pada Jum’at (21/7) dengan menghadirkan ilmuan di bidang sosiologi dan humaniora yang telah 25 tahun mengumpulkan, mempelajari, dan meneliti manuskrip Karl Marx yaitu Direktur pendiri Laboratory for Alternative Theories Universitas York Kanada, Prof. Marcello Musto. Dalam kegiatan tersebut, hadir juga beberapa pemateri pembanding dari UNSA Makassar anatara lain: Rektor UNSA Makassar Prof. Melantik Rompegading, S.H., M.H, Dekan Fakultas Sastra UNSA Makassar Fentry Hernaningsih Ruing, S.S., M.Hum, dan Dosen Fakultas Sastra Andi Farid Baharuddin, S.S., M.Hum.
Musto dalam pengantar presentasinya mengungkapkan jika dulunya studi Marx dianggap sebagai suatu teori yang sudah usang sehingga banyak pihak mengatakan jika membaca literatur Marx tidak lagi kontektual. Namun sejak tahun 2008, kapitalisme terus mengalimi krisis sehingga mendorong beberapa ilmuan untuk kembali membaca pemikiran Marx terutama studinya mengenai ekonomi politik.
“karena krisis yang dialami kapitalisme lantaran aktifitasnya yang terus memproduksi, memproduksi tanpa mempertimbangkan dampak kerusakan lingkungan hidup sehingga mendorong banyak kaum intelektual untuk merefleksikan ulang sistem ekonomi kapital yang cendrung eksploitatif dan hanya berorintasi pada kepentingan pemilik modal. Melalui manuskirip Marx (terutama di tahun terakhir hidupnnya), para cedekia mulai sadar pentingnya memahami secara kritis karakterisitk sistem kapitalisme”, ungkapnya.
Musto sadar jika masyarakat saat ini keliru dalam melihat jika studi marx mendorong orang untuk menjadi ateis lanteran mengutip sepenggal kalimat Marx yang tak utuh yaitu “Religion is an opium of mass”. Padahal ungkapan Marx tersebut merupakan kriitk terhadap doktrik keagamaan yang abai pada derita masyarakat bahkan dulunya menjadi penguat legitimasi kekuasaan yang lalim di abad kegelapan. Sehingga bagi musto, Marx melihat jika agama mesti ditempatkan pada wilayah private.
“Marx tak pernah melarang orang untuk beragama karena ia sadar betul jika ini adalah wilayah private dan pilihan manusia. Sebab yang dikritik dari Marx adalah pemerintahaan teokrasi dan doktrin keagamaan yang abai terhadap lingkungan sosial” Ujarnya.
Farid menambahkan jika sebetulnya agak keliru jika orang masih beranggapan mempelajari marx dapat membuat kita menjadi ateis. Sebab, beberapa tokoh nasional Indonesia, di era pra-kemerdekaan, juga terinspirasi dengan pandangan marx dan mengkolaborasikan ajaran agama dengan pandangan sosialisme Marx.
Sebut saja H.O.S Cokroaminoto yang menulis buku Islam dan Sosialisme (1924). Melalui buku ini, Cokroaminoto juga mengutip sistem ekonomi sosialisme yang diprakarsai oleh Marx dan mengkoprasasikannya dengan sosialisme a’la islam. Selain itu, Bung Karno juga terinspirasi dengan pandangan marxisme dan berupaya untuk membangun front persatuan di antara tokoh nasionalis, agama, golongan kiri melalui bukunya yang berjudul Nasionalisme, Islam dan Marxisme (1926).
“Meski HOS Cokroaminoto dan Bung Karno banyak belajar mengenai literatur Marx, namun hal itu tidak menjadikannya ateis, anarkis, bahkan komunis. Keduanya justru menjadi tokoh yang kaya akan ilmu dan tetap menjadi pribadi yang religious” Ujarnya.
Fentri, sapaan akrab Dekan Fakultas Sastra turut menabahkan jika beberapa mahasiswa dan cedikia di bidang kesusastraan kerap menggunakan teori estetika marxis dan post-marxis dalam menganalisis karya sastra, “dalam menganalisis karya sastra kita tidak menutup diri pada teori apapun. Selama itu berguna untuk peningkatan mutu pengetahuan mahasiswa dan penajaman analitis mereka, maka kita akan mendorongnya” tutupnya.